Kalau gue nggak salah, dulu gue itu sensitive banget.
Dalam arti, gue mudah memikirkan apa kata orang tentang gue.
Hm, mungkin sampai sekarang.
Cuma, gue rasa sekarang sudah sangat jauh lebih minim.
foto 1
Gue akuin, kadang nggak baik.
Karena buat gue egois, nggak peka, dan nggak pedulian.
Tapi lo ngerti nggak sih, kadang kita perlu kaya gitu.
Kalau gue ditanya apakah gue sayang hati orang lain atau hati gue sendiri? Nggak munafik gue, pasti gue bakal jawab hati gue sendiri.
Mungkin akan timbul pertanyaan “Berarti lo egois. Lo cuma mikirin diri lo sendiri”
Masalahnya, kalau bukan gue yang mikirn hati gue sendiri, terus siapa lagi?
Dan, apa lo yakin saat gue mikirin orang lain, orang itu akan mikirin gue juga?
Sekarang? So big no.
Menurut gue nggak salah belajar untuk memikirkan diri sendiri.
Harus malah.
Mungkin susah awalnya.
Tapi lalu gue mengenal kata “bertanya”
Coba untuk selalu menanyakan apa yang terjadi di diri lo sendiri dan dilingkungan lo sebelum menilai sesuatu.
Apa lo bisa nerima itu apa nggak, apa itu berpengaruh besar buat hidup lo apa nggak.
Jangan berpikir siapa yang salah tapi bertanya kenapa harus ada yang salah?
Kenapa nggak bisa menilai bahwa ada yang lebih benar?
foto 2
Semua ini berawal ketika ada yang bilang bahwa ada yang ngomongin gue, dan bagaimana gue menanggapinya.
Dulu gue akan sangat memikirkan, membuat nilai gue jatuh(nggak deng, emang dulu nilai gue jelek kayaknya), dan yang pasti akan membuat gue nggak enakan dan memecah fokus gue.
Lalu gue mulai bertanya kenapa harus dipermasalahkan?
Kenapa ini harus menjadi suatu yang berpengaruh dalam hidup gue?
Sadar nggak sih, sebenernya gue yang memecah diri gue sendiri? Kenapa gue harus peduli banget?
Kenapa gue harus takut sementara gue bisa memilih untuk tidak takut?
Kenapa gue harus menyalahkan diri gue sementara gue lebih jauh mengenal hidup gue dibanding orang mengenal gue?
Kalimat protes lain yang sering keluar dari orang lain adalah, saat ngeliat gue kehilangan sesuatu.
Apapun itu. Ya barang, tugas, atau hati, cie enggaklah becanda.
Pokoknya apapun.
Diam dan ‘yaudahlah’ akan selalu banyak muncul daripada ‘ahelah’
Kadang, orang lain lebih kesal melihat gue daripada gue sendiri yang kehilangan.
Absurd. Yang ilang gue, yang ribet orang.
Teori ini yang suka bikin gue sadar. Manusia itu selalu mau yang ribet.
foto 3
Bukan karna gue pasrah atau nggak mau ada usaha. Tapi gue selalu bertanya, untuk diri gue sendiri.
Lalu apa? Lalu mau apa?
Apa yang bisa lo lakukan untuk mengembalikan semuanya?
Kalau nangis dan marah nggak bisa ngembaliin semuanya kenapa lo harus capek-capek ngelakuin itu semua?
Banyak yang bilang nggak semua pertanyaan harus dijawab pake kata-kata.
Banyak yang bilang pertanyaan itu membuat banyak berpikir.
Mari kita jawab dengan pertanyaan lagi,
Emang kenapa kalau banyak mikir?
Kalau menurut Film Pintu Terlarang aja bahkan ada jawaban tanpa harus bertanya.
Bagaimana kalau ada pertanyaan kan?
Bertanya tidak terlalu salah.
Tidak membuat lo terdorong untuk selalu berpikir lo sendiri.
Lo tidak membuat pertanyaan yang membuat bagaimana lo benar dalam suatu masalah.
Buat pertanyaan yang membuat kenapa ada masalah itu?
Sama ketika lo setelah marah, dan lo bisa melupakannya.
Bukan karna suka-suka.
Tapi bertanya “Kenapa harus selalu dibahas selama sudah selesai?”
“Kenapa sudah selesai?”
lalu “Kenapa belum selesai?”
hem. Kok absurd.
foto 4
Pompa diri lo kearah positif.
Stop berpikir macam-macam selama lo bisa memilih yang baik-baik.
Bukan menggurui, bukan juga expert dalam hal ini.
Tapi, ayo lah belajar bareng.
Bertanya aja dulu sebelum bertanya dilarang.
P.S :
Gue menulis ini ditanggal 23 April 2014. Cuma karna bikinnya saat perjalan ke airport menuju somewhere lah itu, belum sempat ter-post ;P
Salam Hombimba,
Ichauel
xoxo