top of page

Lesson From 9AM Session: A Realization to Know When to Stop

Sejak kecil gue sudah sadar bahwa banyak hal di dunia ini yang selalu gue pertanyakan. Tapi gue juga sadar betul bahwa pertanyaan-pertanyaan ini belum bisa gue pikirkan di usia dini sehingga hal tersebut yang mendorong gue untuk selalu pengen cepat dewasa supaya gue punya ruang untuk mempertanyakan itu, melihat perspektif dari orang dewasa, mencari jawabannya sendiri, dan memutuskan sendiri action gue terhadap hal-hal yang gue pertanyakan ini.


Di usia 20an gue ngerasa ini suatu hal yang seru karena setelah gue ngulik background sebuah common practice di sekitar gue, gue merasa berhak milih sendiri action yang gue mau dan yang sesuai sama prinsip gue misalnya untuk menentukan gimana sih gue harus punya standard to handle love life atau sesederhana kalau ada berita yang gue terima gue harusnya bereaksi apa.


Lambat laun yang awalnya gue cenderung mempertanyakan pilihan hidup orang-orang, panahnya seakan berbalik ke diri gue sendiri. Gue jadi kerap mempertanyakan "Am I on the right track?" "Did I do something right?" "Why is this become complicated, am I wrong at the first place?" Questions that makes me questioning where I stand.


Rasanya capek bangettt, otak kayak nggak bisa diajak kerja sama untuk istirahat sejenak karena setiap mau berhenti pasti jadi bertanya "Does it solve the problem? Why it doesn't? Why can't I find the logic on this thinking process?"



Hingga akhirnya pesan itu masuk. Pesan yang akhirnya mendistraksi otak sejenak. The message came from a colleague - usually I called him Ka Fawwaz or Kang Fawwaz or anything depends on the mood. It was a short message start with a single word "Btw" which I know there are only 2 options whether someone is about to share their upcoming resignation plan (which I think I'm so done with it already) orrrr considering it's him - this could lead to another not-so-random discussion. Thankfully, it's the second option happened that night!


Obrolan yang dibawa Fawwaz malam itu sebenernya simple tapi lumayan bisa jadi diskusi yang menarik kalau digali kanan kiri. Mengingat udah malam, akhirnya diskusi sampai di titik "Let's bring this convo to verbal discussion instead" dengan berhenti dipesan "capek gue ngetik".


Akhirnya pesan yang biasanya cuma selesai dalam 2-3 paragraf berubah jadi undangan ngobrol jam 9 pagi. Then we start the 9AM session, it's somehow kind of me being Mitch Albom in Tuesdays with Morrie.


The session was fun tapi banyak part yang lumayan "hit me hard after the scene" membuat gue lagi-lagi berpikir dan mencari benang merahnya terhadap pertanyaan gue selama ini. Dari obrolan sama Ka Fawwaz ada beberapa hal yang akhirnya gue simpulkan:


"Love better come naturally"


Untuk gue love life is always about give and receive. Makanya sejak SMA gue selalu membiasakan make a clear statement to whomever I close with "Which direction we're going to take?" Brutal tapi gue perlu clarity dari awal karena gue gamau buang-buang waktu.


Sejak sebelum kerja, gue juga selalu take love life process easily while keep the standard prominent. Alasannya ya supaya gue bisa fokus kerja dan biar ga ribet ditanyain "Pacarnya mana?" aja ga sih? Hahaha! Tapi lalu gue jadi bertanya apakah ini cara yang tepat. This way required me to ensure that the men meets the expectation first then to consider what's the next step we should take.


But then the questions came up: does love required such a long process and so much consideration? Wouldn't it be sort of a "set up" moment? Most importantly, will we enjoy the process with such arrangements?


Gue jadi mulai berpikir "Kenapa ya gue mikir banget untuk mencapai di titik 'cinta' ini?" padahal yang namanya cinta harusnya datang dari kenyamanan dulu. Dan nyaman harusnya ga ditargetkan dan required a set up process, right? Then, Fawwaz made a point that each person may have different practice but in any kind of way: real love shouldn't take so much effort for you to understand that it's love - which quite make sense.


"People never wrong, they're just fit differently"


Kadang lama-lama di sosial media bikin gue suka mikir "kenapa ya cara pikir orang gitu?" "kenapa ya grup ini punya perspektif dan gaya kaya gitu? Kenapa harus merendahkan orang lain?" Pertanyaan yang sebenernya bisa memicu perghibahan coba gue dan Fawwaz tarik ke atas untuk liat perspektif lebih besarnya.


Sepertinya dari pertanyaannya aja udah salah karena seharusnya emang kita ga perlu nanyain kenapa orang berbeda. Ya jelas aja orang ga sama karena proses kehidupan orang kan beda beda. Don't you think it's funny? Kita punya proses yang berbeda tapi ditempatin di satu society yang sama akhirnya perspesi 'si paling bener' pasti sering muncul.


Salah satu statement Fawwaz yang gue inget juga on point "Jangan expect orang untuk mengerti posisi orang lain kalau dia gapernah keluar dari comfort zone-nya" yang sebenarnya gue amini. Tapi gue tetap merasa hidup bersosial harusnya nggak menjadikan orang untuk menutup akses luar.


Yang perlu orang-orang (khususnya gue) mengerti adalah kita nggak akan pernah ada di posisi paling benar jadi rasanya nggak perlu mempertanyakan hal yang kita ga pernah diposisinya - karena mau dipikirin sampai kapanpun akan susah untuk relatable.


Dan technically emang orang nggak ada yang salah aja sih. Even misalnya kita merasa "duh si A lemot banget sih, emang susah ya kalau beda prinsip dan kebiasaan yang biasa diajarin kampus gue tapi mungkin nggak di kampus dia" kita juga nggak salah untuk ngedumel karena kita punya standard dan proses hidup yang berbeda - ya yang penting gaperlu nyakitin orang langsung.


"Take something more slowly"


Dengan pedenya, gue selalu mengkategorikan gue orang yang "well-planned" karena tau betul mau gue apa dan gue harus memastikan rencana tersebut keep it on track. Awalnya gue pikir semua rencana harus balanced sehingga ga jarang gue lumayan kedadapan buat memastikan bahwa plan di satu fokus harus sama progressnya kaya di fokus lain. Misal kalau karir gue di titik A harusnya love life gue di titik A juga.


Tapi melihat Fawwaz menceritakan rencana hidupnya, I learnt that we definitely take things differently but I can't deny that his plan still works. One thing I got from the discussion is he's trying to make it done one by one - seakan melaju tapi pasti. Ini lumayan bikin gue mikir bahwa apa mungkin gue tertekan sendiri karena mencoba menyelaraskan suatu hal yang temponya berbeda?


Baginya ada beberapa hal yang perlu dikesampingkan dulu untuk dia bisa menyelesaikan misinya satu satu. Sementara gue mencoba menyelesaikan yang gampang-gampang sembari jalan ke yang susah. Tidak ada yang salah - tapi dari kacamata gue, Fawwaz tampak jauh lebih menikmati prosesnya daripada gue.


Yang lalu gue jadi bertanya, gue buru buru mau kemana sih?


 

I think from the whole conversation and three main points highlighted, what hits me differently is a moment of realization that sometimes I forgot that there's always a process in anything.


Mungkin waktu yang gue gunakan untuk berpikir panjang membuat gue mengesampingkan rasa untuk menikmati prosesnya. Banyak pertanyaan yang harusnya bisa gue eliminate sejak awal karena simply unnecessary aja. But I am actually glad there's someone who's not only saying "stop thinking unnecessary thing" but casually share their different perspective.\



Untuk orang-orang yang mungkin juga sedang suffered losing control of yourself or questioning whether they made the right decisions mungkin salah satu resep terbaiknya adalah untuk mencoba melihat sesuatu dari kacamata orang lain. Bukan curhat tapi bertanya apa yang sebenernya mereka pahami untuk tau seberapa luas sebenernya dunia ini. Atau sekedar untuk menyadari hal apa yang selama ini tertinggal di belakang.


Sehingga kita bisa sama sama sadar kapan waktunya untuk stop menyakiti diri sendiri and unplug yourself.


People said there's always a magical things happened in early morning but people should try to have a cup of tea and a good conversation at 9AM.


Salam Hombimba,


Graisa

xoxo

bottom of page