Reading Time: 5 Minutes
Gue mengaduk pelan teh di pantry menatap kosong ke arah jalanan Slipi pagi itu lewat selipan gordyn, memikirkan banyak hal di otak sampe gue bingung masalah yang mana yang sebenernya lagi gue pikirkan.
Pikiran gue kembali melayang di hari minggu pagi itu ketika gue memutuskan untuk menelfon Raffi.
"Ya lo ngapain ngomong kaya gitu? Anaknya kan jadi freaked out. Serem gila lo." Kata Raffi cuek
"Loh? Itu kan cuma bercanda." Jawab gue bingung
"Ya itu sih nggak keliatan lagi bercanda sama sekali"
Pinterest.com | @lemiyuki
"Earth to Grey!" Lamunan itu langsung terbuyarkan dengan kehadiran Dennis yang udah ada di samping gue.
"Eh...Hi" Gue yang tersentak hanya menengok lalu mengelak menghindarinya, malas kalau ditanya-tanya yang nggak lagi nggak pengen gue omongin.
"Oh gitu sekarang? Gak kangen sama gue?" Dennis berusaha mengejar dan menghentikan gue dengan jalan mundur beberapa langkah. "Wait.... I know this face...."
"I don't wanna talk about it" Gue langsung berjalan melewatinya menggenggam erat gelas Eeyoreku, takut-takut tetiba nangis.
"Hold on...is it because...?" Belum selesai Dennis berbicara, gue langsung memotong.
"I said, I don't wanna talk about it" Gue berhenti, dengan wajah tanpa ekspresi melihat tajam mata Dennis yang dibalas sama tajamnya, lau kembali berjalan melewatinya
"It didn't worked out." Ujar Dennis dari belakang gue. "Right?" Tambahnya memastikan.
Aku menarik nafas panjang, dan berbalik "It didn't worked out." bisikku.
Dennis berjalan mendekatiku perlahan.
"How come? Perasaan eug cuma pergi seminggu, udin ditinggal aja lu." Ujarnya berniat bercanda
"It was me, being stupid, all over again." Jawab guesingkat lalu berjalan cepat menuju meja kerja.
Dennis menghampiri dan bergegas duduk di kursi sebelah gue.
Menutup laptop gue dengan pandangan menuntut minta dijelaskan.
Ahirnya gue jelaskan bagaimana semua mulai dan berakhir.
Sebenernya gue udah membuat satu post untuk momen terakhir ini.
Tapi gue rasa nggak perlu di post, karena sudah nggak penting lagi sepertinya.
"Tapi itu kan jelas-jelas cuma bercanda???? I mean, dia kan udah jalan beberapa kali sama lo. Masa dia nggak sadar kalau lo not that kind of person? Ya kali anjir masa iya lo yang nembak dia? Where are we now? 2030? " Dennis menanggapi cerita panjang gue tidak percaya.
"You can't expect more from text message, overall."
"Tau gak yang paling menyedihkan apa?" Tanya gue dengan tatapan kosong ke depan. Dennis mengelus-ngelus punggung gue. "Pergi tanpa pamit. Tanpa satu patah kata pun. Dan nggak ada ruang untuk gue menjelaskan"
"He definitely has a a choice." Bisik Dennis seakan berpikir
"But he didn't choose to." Jawab gue kini melihat Dennis yang cuma disambut dengan tatapan sendunya
"Sayang ya hubungan yang dimulai baik-baik, susah untuk diakhiri baik-baik juga." Gue menghela nafas panjang dan meneguk kembali teh di cangkir depan gue.
"Lo tau kan ini artinya apa?"
"Am I too scary?" gue terdiam sejenak. "Am I not worth fighting for?"
"Stop. Now it's not fair. There's no guy should put a girl in this position with this question. Buat apa effort banyak, mikir banyak sama orang yang juga gak mikirin lo sih? He's already got his time, kalau dia nggak pake dengan maksimal then it's his loss, not yours. " Dennis berdecak kesal.
Setelah memberikan beberapa wejangan ala sudut pandang cowok yang juga nggak masuk akal di otak gue, Dennis kembali ke mejanya dan menjanjikan beli shihlin pulang kerja biar mood gue lebih baik.
Selanjutnya gue tidak banyak bicara, diam, dan hanya memikirkan langkah apa yang perlu gue lakuin.
Hasilnya, tidak ada. Gue juga nggak tau mau apa.
Otak gue melayang kemana-mana, sementara tangan gue automatically mengerjakan pekerjaan gue di layar PC.
Gue mencoba menjauhi lagu-lagu mellow untuk mengurangi rasa sendu di hati.
Ini sebenernya adalah langkah terbaik kalau lo merasa galau.
Sebisa mungkin gue membuat hati gue berpikir senang, atau setidaknya kosong.
Gue nggak mau merasakan sedih, atau sakit hati.
Karena gue tau nggak ada gunanya.
Ditengah lamunan gue dan dentuman Overture dari Annie the Musical notifikasi dari aplikasi slack kantor masuk dari Marsha.
Kenalin senior terbaique gue di kantor gue, Marsha Alvinda.
Walaupun paling intense ngebully gue, Marsha ini emang paling perhatian sama gue.
Selain karena kita suka berbagi kesukaan musik yang smaa, Marsha sama gue sama-sama suka curhat soal kehidupan.
Marsha paling sensitif kalau gue sedih, atau seneng, atau ngerasain apapun.
Dia juga yang selalu inget kalau gue cerita A, B, C, D.
Dengan hijabnya yang selalu ia beli rebutan via online, dia selalu tampil as casual as possible.
Saking berasa kaya kaka gue, biasanya kita suka tuker-tukeran mesej kebodohan bareng via slack dan ketawa sendiri di meja masing-masing.
Marsha Alfinda send you a message:
"Masih soal Arya?"
Cuma begitu isi pesannya.
"Menyebalkan rasanya ketika di kantor lagi banyak pressure, kerjaan, dan lo berlabuh ke orang berharap bisa membantu mengurangi beban di hidup lo, bisa bikin lo ketawa. But when you tried to make a joke, he left you just-like-that."
Balas gue.
"Emang aku tuh se salah itu ya bercandanya sam pe Arya nggak mau ngomong lagi sama aku?" Tambah gue lalu bertopang dagu. Yha dibahas lagi, jadi inget lagi deh
"Menurut gue sih Aryanya aja kali ya lumayan lebay, tapi ya nggak tau juga ya mungkin ada masalah yang lagi dia hadapin. Belom dibales juga chat terakhir?" Jawab Marsha langsung.
"Tapi semua orang kan juga punya masalah?"
"Well, I can't deny that part sih."
"Sebenernya which one worse? Ngomong tapi nyakitin atau nggak ngomong sama sekali?"
"Gue sih tim ngomong tapi nyakitin biar kelar urusannya dan jelas duduk perkaranya. Daripada muntaber. Tau gak muntaber? MUNDUR TANPA BERITA"
http://blog.netrobe.com/2012/03/10-best-fashion-brands-on-tumblr/
Seketika gue ketawa baca chatnya sampai orang-orang melihat gue dan gue harus mengurangi volume suara gue sembari bergumam "sorry sorry"
Gue melihat Marsha yang duduk tepat di serong kanan gue.
Meja di kantor berbentuk bunga besar tanpa sekat, jadi memudahkan kita melihat co worker satu sama lain yang duduk secara acak.
Dalam diam, gue membentuk gesture "Thank you" di bibir yang lalu dibalesnya dengan tersenyum.
Kadang, perempuan bisa menjadi musuh terbesar perempuan lainnya. Tapi kadang, sosoknya bisa menjadi terbaik dari apa yang dunia bisa tawarkan.
Salam Hombimba,
Graisa
xoxo
コメント