top of page

Review: Hello Salma by Erisca Febriani


HELLO SALMA | 7/10

Erisca Febriani

Coconut Books

2018

 

Setelah sukses dengan penjualan novel berikut film Dear Nathan di tahun 2017 lalu, Erisca Febriani kembali menelurkan lanjutan kisah asmara Nathan dan Salma. Nggak bisa dipungkiri, emang di seri pertamanya Nathan dan Salma dapat mewakili kemanisan, keusilan, serta drama masa-masa SMA. Pemilihan Jefri Nichol di filmnya, membuat ikon Nathan semakin banyak disukai karena gaya sengaknya yang lekat dengan imajinasi pembaca.


Hello Salma bukan tentang perspektif Salma soal Nathan, ceritanya masih melanjutkan perjalanan kisah keduanya. Diawali dengan emosi Nathan yang nggak kekontrol dan nggak bisa pula diterima Salma mengakibatkan keduanya memutuskan berpisah. Setelah membuat babak belur temannya, Nathan justru memilih untuk pindah sekolah daripada harus minta maaf untuk hal yang dia rasa bukan kesalahannya.


Pertemuan Nathan dengan Rebecca, siswi yang mengalami depresi dan melampiaskan emosinya lewat sosial media menjadi babak baru dalam liku hidup Nathan. Menyadari bahwa Rebecca yang kerap di bully dan berusaha bunuh diri menyadarkan Nathan akan ibunya yang sudah meninggal, sehingga menggerakkan hatinya untuk mengajak Rebecca berteman. Bersama Nathan, Rebecca kembali tertawa dan menemukan secercah harapan yang membawanya membuat komunitas untuk orang yang memiliki mental health issue.

Di satu sisi, Salma tengah dilanda tekanan setelah gagal diterima di fakultas kedokteran Universitas Indonesia, kehadiran bapaknya terus menekan Salma untuk selalu kursus dan fokus masuk jurusan kedokteran di ujian tahun depan. Ketika teman-temannya sudah sibuk kuliah, hobi menulisnya pun dilarang oleh bapaknya, di titik itulah Salma merasa tidak mengenal dirinya sendiri, kian terpuruk dan butuh uluran tangan. Siapa lagi yang membantu kalau bukan komunitas Rebecca.

Erisca ini kayaknya punya keuntungan bahwa di usianya yang masih belia dia bisa dengan mudahnya menyelipkan gaya-gaya atau permasalahan anak remaja sehingga pembacanya (yang juga masih remaja) bisa merasa sangat relate.

Rasanya bangga melihat Hello Salma hadir sedikit lebih dewasa dari seri sebelumnya. Kalau dulu cuma permasalahan pendirian dan komitmen, di seri ini permasalahan mengangkat cerita lebih rumit dan tidak hanya melibatkan hubungan Nathan dan Salma. Ceritanya emang kayaknya pengen fokus ke betapa struggle-nya Salma, jadi perspektif Nathannya sedikit ketelan.


"Peraturan pertama apabila ingin ngelupain orang adalah berhenti mencari tahu" - Nathan


Karakter Salma dibuat lebih kuat dan rapuh, menunjukkan emosi dan depresi yang dengan mudah membangun imajinasi pembaca, dibuat se broke-broke nya hidup. Gue rasa masalahnya cukup common di antara para dedek dedek SMA, bagaimana tekanan ketika belum dapet kuliah sementara yang lain sudah, tekanan untuk masuk jurusan tertentu dari orang tua, belum lagi ada di titik "sebenernya gue tuh apa si, mau jadi apa?"


Kehadiran Rebecca juga sebenernya bisa menjadi penggambaran yang baik bagaimana sensitifnya orang yang menyendiri, sehingga setiap ada yang baik dengannya rasanya ingin dimiliki. Walaupun emang part-part untuk Rebecca ini terdengar sangat teori dan menggurui banget.

Sayangnya background dari semua tuntutan bapaknya terasa tipis dan tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya jadi sedikit terkesan berlebihan. Belum lagi solusi kabur yang sebenernya bahaya untuk diikuti anak remaja yang masih labil, bahwa kabur nggak semudah itu dan harusnya banyak resiko yang perlu dipikirkan. Tapi nggak bisa disalahkan bahwa ini bisa jadi suara hati para remaja dan imajinasinya yang nggak bisa kesampaian.

source: tenor


Time frame dari ceritanya begitu panjang sehingga sempat terasa bosan di beberapa saat tapi secara keseluruhan masih menyenangkan juga untuk dinikmati. Untuk gue, Hello Salma menghadirkan cerita yang pas untuk dinikmati para remaja baru yang memberikan perspektif bahwa hidup bukan cuma soal cinta, cerita-cerita novel itu bukan cuma soal cinta cintaan tapi ada permasalahan-permasalahan juga yang mungkin dialami.


Buku ini juga udah diangkat ke layar lebar walaupun nyatanya jauh bisa mencuri hati dibanding bukunya, baca reviewnya di sini.


Salam Hombimba,

Graisa

xoxo


bottom of page