top of page

Review Film Downfall, The Case Against Boeing (2022): Fakta Dibalik Kecelakaan Boeing Lion Air 610


U.S

Sutradara: Rory Kennedy

 

Untuk beberapa orang rasanya mungkin masih membekas kejadian 29 Oktober 2018, ketika semua acara berita mulai memberondong info pagi hari itu: Pesawat Lion Air JT 610 dinyatakan hilang radar setelah meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, 13 menit setelah lepas landas.


Peristiwa yang mungkin nggak bisa diabaikan begitu saja mengingat kecelakaan itu kemudian dikonfirmasi jatuh ke laut yang merengut semua nyawa penumpang didalamnya termasuk 189 korban termasuk 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, 5 kru pesawat. Kalau sekarang dicari di google pasti kamu akan dipertemukan dengan istilah-istilah aviation yang merunyamkan otak perihal kronologis kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 ini tanpa mengerti betul duduk perkaranya.


Jika kita bisa kembali pada saat itu, nama Lion Air sudah kental dengan banyak isu operational. Hal ini dijadikan sasaran utama kemarahan orang-orang. Apakah safety-check standardnya yang disepelekan? Pilotnya yang tidak capable? Pesawatnya yang sudah berumur dan tidak layak terbang?



Semua asumsi itu nggak cuma jadi perhatian nasional tapi juga internasional. Berita-berita internasional menyiarkan kejadian ini, sibuk menyoroti Indonesia dengan segala lemahnya standard keamanan atau mempertanyakan jenjang pendidikan pilot dibaliknya. Sayangnya, semua orang tidak ada yang mempertanyakan masalah pada design pesawat yang digunakan, hal ini didukung bahwa pesawat ini merupakan pesawat Boeing - perusahaan pesawat yang dikenal memiliki standard keamanan tinggi.


Nyatanya, Pesawat Lion Air JT 610 menggunakan pesawat terbaru dari Perusahaan Boeing berseri Boeing 737 Max Jet. Jika para eksekutif Amerika Serikat menyatakan bahwa ketidak mampuan pilot menghadapi situasi kritikal penyebab dibalik peristiwa ini, rasanya hal tersebut ga berlaku dengan fakta bahwa Bhavye Suneja, sosok pilot dibalik Lion Air berkebangsaan India ini nyatanya mengenyam pendidikannya di Amerika Serikat.


Dalam pencarian sebab kecelakaan ini, Boeing konsisten menepis bahwa sumber permasalahannya bersarang dari desain pesawat buatan mereka. Namun, ketika black box ditemukan terdeteksi terdapat malfungsi terhadap sensor yang membuat mesin mengaktifkan sinyal palsu yang menolak respon pilot.


Dalam proses itu ditemukan terdapat satu fitur baru yang dinamakan Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) - sensor otomatis yang membuat moncong pesawat turun ke bawah ketika pesawat dirasa miring terlalu ekstrem, fitur yang kemudian diketahui tidak pernah diperkenalkan sekalipun ke publik, perusahaan airlines, pilot training maupun dilaporkan ke FAA (Federal Aviation Administration US).


Perusahaan Boeing yang selalu dijunjung dengan kualitas keamanannya makin diragukan ketika kecelakaan pesawat dengan seri yang sama terjadi kembali dan menimpa Ethiopia Airlines 5 bulan kemudian.


Lewat dokumenter ini, Rory Kennedy (Last Days in Vietnam, 2014) berusaha mengupas kronologis dan konspirasi besar perusahaan Boeing terhadap andilnya dalam kecelakaan besar ini.


Tonton Trailer Downfall: The Case Against Boeing


 

Downfall: The Case Against Boeing rasanya tidak memberi ampun kepada perusahaan Boeing dalam menguak fakta-faktas dibalik peristiwa pilu industri aviasi ini.


Tanpa bertele-tele, dokumenter ini langsung memulai kisah dari tragedi Lion Air yang disampaikan oleh Garima Sethi, istri dari Bhavye Suneja. Menampilkan deretan tuduhan tak berdasar yang rasanya sangat sulit ditonton jika mengingat bahwa ada keluarga para korban yang menonton di rumah.


Instead of mengedepankan kisah kesedihan dan pilu para korban, dokumenter ini fokus menjabarkan gap gap kosong yang tidak dijadikan pertimbangan publik atau orang yang awam terhadap industri aviasi. Laporan investigasi disampaikan secara padat sehingga membuat fokus penonton nggak terbawa arus kesedihan.


Dokumenter ini membabat tiga perspektif, dari sisi korban yang menuntut keadilan, mantan karyawan Boeing dan Senator di balik Gedung Putih yang menangani investigasi ini. Ketiganya menyuarakan hal yang sama, betapa entengnya Boeing menghadapi situasi ini dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti orang awam.


Lewat film ini, penonton benar-benar dijabarkan seberapa krusial dan bahayanya keputusan yang telah dibuat Boeing dari sudut keselamatan penerbangan juga menunjukkan betapa malang dan clueless-nya para perusahaan penerbangan, pilot, apalagi keluarga yang ditinggalkan.



Perjalanan ceritanya tidak hanya menyoroti keputusan sesaat Boeing tapi bagaimana penyebabnya itu berakar dari puluhan tahun lalu. Tagline yang dikenal orang "If It's not Boeing, I'm not Going" nyatanya diamini oleh para karyawan terdahulunya yang mengakui betapa Boeing sangat mengedepankan kualitas dan keselamatan sampai akhirnya perusahaan ini berpindah tangan dan lebih fokus menjaga kestabilan saham.


10 menit pertama film ini menjadi adegan terberat untuk disaksikan ketika gue mencoba memposisikan sebagai warga Indonesia atau keluarga korban. Bagaimana hanya demi materi mengesampingkan keselamatan orang - surely something challenging to watch.


Hal ini makin sulit dilewati ketika fakta mulai menguak sesaat dokumenter mulai menjabarkan seberapa kerasnya Boeing berusaha untuk menekan biaya keluar termasuk menolak permintaan Lion Air untuk melakukan pilot training. Kelakuan Boeing yang tidak hanya menolak tapi mengolok perusahaan penerbangan - yang mana perusahaan ini kemudian menjadi kambing hitam dalam pemberitaan, rasanya bikin nyelekit di hati.



Nyatanya, film dengan alur melodramatic ini tidak punya itikad untuk membuat orang takut atau membenci berpergian dengan pesawat tapi lebih menekan emosi untuk selalu bersikap skeptis dan kritis kepada siapapun - sekalipun perusahaan yang sudah memiliki citra baik.


Perusahaan Aviasi dan Pilot seakan dituntut untuk terus belajar, diminta untuk terus mendapatkan informasi yang matang terhadap detail pesawat yang mereka gunakan. Federasi Aviasi juga diminta untuk lebih berani dan memegang kontrol lebih terhadap izin penerbangan pesawat.


Yang masih agak mengganjal dalam film ini adalah saking fokusnya membabat habis Boeing, apakah ada andil Airbus - sebagai perusahaan kompetitor, terhadap keseluruhan cerita ini?


Anyway, film ini punya naratif yang sangat kuat sehingga rasanya bikin merinding sampai akhir cerita, bagaimana Boeing dihadapkan kepada para korban will hurt yourself into pieces. Film yang mungkin jadi harus mengorek luka yang dalam lagi bagi keluarga korban, tapi rasanya kita dipaksa untuk tau agar kita jauh lebih subtle melihat peristiwa.


Satu yang gue pelajarin dari film ini adalah pentingnya setiap memo dan rekaman keputusan untuk menjadi bukti tuntutan.


Salam Hombimba,


Graisa

xoxo

bottom of page