top of page

Stop and Breath!

It's funny how life went so fast.

Yang lebih mengagetkannya lagi adalah di usia 20an gini badan gue jauh lebih bergerak cepat mengikuti otak dan pikiran.

Setiap mau apa langsung dijalanin dan diikutin tanpa bingung harus ada limitasi. Banyaak sekali yang terjadi akhir-akhir ini yang ingin gue tumpahkan.


Akhir-akhir ini gue sedang menerapkan gaya hidup baru dengan tidak membuka media sosial.

Yes! Ini emang udah wacana lama tapi nggak jalan-jalan, akhirnya ini berjalan juga karena sekarang ga cuma didorong sama keinginan tapi juga pemikiran baru. Gue baru aja sampai di titik pikiran "what's its deal with my life?"

Apa sih yang ngebuat gue perlu buka media sosial? Apa yang akan terjadi sama hidup gue kalau gue nggak buka? Apakah kalau gue ketinggalan suatu trend itu akan menghancurkan hidup gue? Enggak juga ternyata.


Don't make me start with how toxic social media has been impacting my life.

Yang gue tau hanya standar kehidupan jadi jauh lebih tinggi dan untuk personality yang kompetitif kaya gue gini akan sangat susah menahan ego sambil ngeliat sekitar di sosial media. No one feel annoyed of ambitious people more than the ambitious person themselves.


Gue sendiri sebenernya udah mulai mengurangi menggunakan instagram sejak beberapa bulan lalu, awalnya lebih mengalihkan diri ke twitter dengan account berbeda, mengikuti akun yang sebelumnya belum pernah gue ikuti. Bercuit sesuatu yang nggak mungkin gue cuitkan di akun gue. But, does it help? Not really. Because I still able to see what other people doing and that's what ruining me.


Gue juga berpikir Youtube bisa lebih baik dan membantu karena interaksinya dengan user yang lebih wider dan nggak sama close friend, but still, the idea of people can do more than me rooting my emotion and ego.


Orang tipe kaya gue emang kuncinya gaboleh liat banyak orang agar ga selalu membandingkan dan jadinya super ngepush diri sendiri. Capek bangetttt parah. Setelah pergulatan batin, akhirnya gue mencoba menutup segala aplikasi dengan persepsi "ya kalau ga lihat emang akan berimpact apa ke hidup gue?"


Hari ini udah masuk ke hari 5 gue melakukan terapi itu. Ternyata ga begitu mudah karena tangan suka otomatis buka aplikasi itu sendiri. Cuma, kedewasaan gue (dih gaya anjir) cukup mawas diri dan menutup ketika tau tangan otomatis membuka.


Nge-pressure diri dengan deactivate account, ngapus aplikasi, atau membuat statement "ok gue hiatus" sejatinya malah membuat percobaan ini gagal dan bikin capek diri sendiri. Sehingga obat terbaik adalah dengan melepasnya pelan-pelan. Kalau dulu buka untuk selalu scrolling, liat akun ini itu, sekarang mulai dikurangi. Buka hanya untuk cek apakah ada notifikasi atau pesan masuk (gue memang tidak memasang notifikasi ke hp untuk sosial media gue, jadi gue harus buka dulu untuk tau kalau ada aktivitas yang mention gue) atau butuh hiburan sementara.




Apa sih efeknya sejauh ini? Gue merasa jauh lebih hidup, apa yang gue lakuin terasa lebih bermakna.

Gue punya waktu untuk berpikir lebih dalam dan menyadari ternyata apa yang selama ini gue lakuin itu benar-benar untuk orang lain, semua video di youtube, review di instastory, atau postingan di instagram terlimitasi dengan "biar orang tau ini tuh gue yang bikin. biar orang tau ini tuh graisa."

It's pathetic realizing that part and it really makes me sick seeing my self akibatnya jadi males bikin konten lagi pasti.

Tapi kalau ga bikin konten, ya emang kenapa????


Gue dulu merasa pelarian terbaik ya ke youtube, liat orang yang emang menyematkan pesan meningkatkan kualitas diri. Tapi ego gue terlalu besar untuk menerima itu secara positif, yang ada iri lagi iri lagi. Sehingga gue menilai berlindung dibalik "mencari reference" is not working. Untuk sesaat gue perlu menyibukkan diri dengan diri gue sendiri, mengkonsumsi hal hal yang tidak bersinggungan dengan orang yang akan membuat gue iri.


Jadi apa yang gue lakuin?

I have so many times to think about myself. I have got more time to read! Read read and read, it's not like read to make a video, it's because I want to drowning to its story. I have more time to watch movie as well, dunia yang lebih bisa gue selami dan gue imajinasikan sendiri - knowing that it's not real.


The most real thing I train myself is to stay in touch with my friends. Create a real conversation. Jadi to killing time, gue mencoba ngobrol sama temen-temen gue via chat. Bersyukurnya gue punya temen yang juga mau aja nanggepin gue. Obrolan kesana-kemari, hal yang biasanya gue mungkin post di sosial media tapi gue coba ceritakan dalam bentuk kata-kata. Harusnya proses ini juga bisa membuat gue iri, tapi ternyata enggak. Karena gue merasakan ketulusan aja gitu kalau chat sementara kalau di sosial media gue merasanya kayak panggung setiap orang yang saling berkompetisi.


It's confusing - I know, but it's happened, and I can't handle it.


Lalu, Mentari mengusulkan untuk gue kembali menulis. Menulis jurnal yang langsung gue tulis dengan tangan. Gue pernah mendengar terapi ini sangat ngebantu untuk released our emotion and yes it worked! I started to write again, menulis hal-hal yang receh dan tidak berfaedah. Memang menyenangkan dan lepas rasanya.


Gue tidak akan bisa mendapatkan saran ini dan melakukan hal ini kalau gue tidak punya struggle terhadap isu media sosial, pasti gue cenderung akan denial. Jadi sedikit di hati kecil gue bersyukur merasakan ini, karena banyak sekali hal hal yang gue temukan dalam proses pencarian diri gue lagi.


Rasanya gue diam sebentar dan diberi waktu untuk bernafas.



Akhir pekan ini, gue duduk di depan laptop, menulis kata-kata yang ingin gue tuliskan setelah selesai mengumpat di jurnal yang telah tersimpan lama, ditemani segelas es teh lemon yang gue buat sendiri karena gue lebih punya banyak waktu, dan hp di sebelah gue yang gue sentuh ketika menerima pesan dari teman dan pacar gue.


Having this thoughts: It's okay not to follow the trend, it's okay not having a lot of followers and attention you wish to get, it's okay not updated with your friend's life, world wouldn't stop if you're not doing so.


Thank God for the time you gave for me to stop and breath, and thanks to you too for being there and give the most valuable idea of how I should run this life.


Salam Hombimba,


Graisa

xoxo

bottom of page