top of page

Quarter Life Crisis Talk: A Slap For 26 y.o Girl on Sunday Afternoon

Dari dulu gue selalu denger orang menyebutkan "quarter life crisis", gue sendiri selalu tidak mengindahkannya. Gue pikir crisis yang dimaksut itu adalah ketika banyak beban pikiran dari pekerjaan, pertemanan, dan keluarga misal dikhianati teman, harus bertanggung jawab terhadap keluarga atau merasa belum cukup ketika lingkungan sudah berada di level tertentu.


Kalau definisinya seperti itu gue kira hal tersebut bisa datang kapan saja tanpa harus menunggu 25 tahun. Atau bahkan menurut gue dulu ya itu bagian dari proses pendewasaan. Jadi harusnya bukan crisis yang mengagetkan.



Sampai akhirnya gue merasakan sendiri ketika menginjak usia 25 tahun dan diberikan tantangan hidup yang gue tidak pernah ekspektasikan hadir. Gue baru sadar bahwa crisis yang dimaksut nyatanya bukan tentang hubungan dengan orang lain melainkan perang pikiran antara kita dengan diri kita sendiri.


Perjalanan usia 25 hingga 26 tahun termasuk salah satu momen yang tidak mudah untuk gue. Bagaikan ego yang sebelumnya perlahan memanjat, di usia ini rasanya ego itu sudah sampai pucuknya. Gue mulai banyak mempertanyakan hal yang asing dalam hidup.


Di usia ini, hilal untuk menikah belum tampak di hidup gue. Di satu sisi, perusahaan ini terus-terusan memberi makan ego gue dengan mempercayakan tanggung jawab yang lebih besar scopenya, orang lain selalu overreact terhadap role yang gue rasa bukan apa-apa tapi mungkin di bawah alam sadar itu memupuk ego gue makin tinggi. Pun ketika gue melihat tabungan yang tidak pernah gue sentuh, gue mulai berpikir "hah uang ini untuk apa ya? Kok gapernah gue pake ya?"


Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itu gue langsung mulai berpikir untuk mulai menggunakan uang tabungan dengan pergi liburan sendiri, gue juga sempet berpikir untuk ambil sabbatical leave untuk bener-bener ngelakuin apa yang gue mau, lalu dengan ketakutan-ketakutan gue bahwa seiring berjalannya waktu gue jadi makin picky untuk memilih suami.


Menyebalkannya adalah kita tidak bisa kabur begitu saja karena pertanyaan tersebut bersarang di otak kita, jadi tekanannya terasa sekali.


Sampai akhirnya siang itu datang. Hari Minggu ini gue bertemu dengan teman baru yang dipertemukan lewat LinkedIn - super random memang, berangkat dari obrolan kebutuhan studi s2-nya yang ternyata relevan dengan rencana studi gue. Mas Devan, gue memanggilnya.


Setelah ngobrol panjang via whatsapp, gue mengajaknya bertemu. Awalnya obrolan mengalir begitu saja ketika ia menceritakan suasana dan ekspektasi perjalanan S2 sampai akhirnya pertanyaan melebar dan trigger obrolan itu keluar,

"Lo punya pacar?" Tanyanya ketika gue sedang sibuk memotong ayam di depan gue. Awalnya gue cuma tersenyum bingung karena takut tidak bisa menahan opini opini gue yang terlalu subjektif. Tapi setelah mengonfirmasi, gue takjub kemana obrolannya mengalir.


Perbedaan 8 tahun antara kami jadi awal yang menarik untuk menanyakan hal-hal yang selama ini menjadi asumsi gue terutama tentang proses pendewasaan: apakah orang dewasa itu merasa ketika bertambah umur maka level dalam hidupnya bertambah satu tingkat? apakah itu sebuah tantangan baru dalam mencari pasangan ketika hidup kita selalu naik level, jadi makin susah cari pasangan ideal?


Ia hanya mengangguk untuk menunjukkan gesture mengerti ketika mendengar statement-statement gue, responnya singkat tapi sangat berbekas untuk gue:


"Usia 25-26 emang fase-fase dimana lo merasa paling pintar sampai nggak sadar bahwa sebenernya lo nggak setinggi itu"

Kalimatnya langsung menusuk dalam hati gue, bukan dalam konteks yang menyakitkan tapi seperti jawaban dari keresahan yang gue tunggu-tunggu. Statement selanjutnya diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat gue seakan dipaksa menghadap ke otak gue dan melihat tingginya tumpukan ego yang sudah gue pupuk.


Obrolan siang itu rasanya menguliti ego gue satu-satu, gue kira selama ini gue sudah mampu untuk mengontrol ego dan keeping low to maintain humbleness tapi nyatanya di dalam pikiran gue masih bersarang ego-ego yang ternyata jadi boomerang untuk keresahan so-called quarter life crisis ini. The statement is very on point.


Karena topik ini erat kaitannya dengan challenge dalam hubungan love-life, Devan lagi-lagi mengingatkan gue untuk tidak menyamakan hubungan love life selayaknya hubungan pekerjaan karena itu adalah dua hal yang punya fondasi berbeda.


"Di usia 25-26 udah bukan lagi mikir apa kelebihan lo lalu mencari pasangan berdasarkan kelebihan mereka untuk menyamakan lo - itu nggak akan ada abisnya. Harusnya lo tau dulu kekurangan lo apa, nah baru fokus cari pasangan dengan kelebihan yang bisa melengkapi kekurangan lo itu."


Mendengarnya rasanya terjatuh, terpelanting, terjungkal. Mungkin didepannya gue tampak mengangguk-angguk, tapi gue diam melihat matanya, tertegun dan pikiran gue melayang-layang.



Dengan tenang dia mengelaborasi pernyataannya. Rasanya beda sekali seperti cerita sama teman gue yang lain, Devan menyampaikan statementnya dengan tenang dan tanpa meninggalkan kesan menghakimi. Mungkin karena ia juga belum berkeluarga jadi ia lebih terkesan menjabarkan fakta yang pernah ia alami daripada menggurui.


Gue rasa ini advise terbaik yang pernah gue denger sampai hari itu. Selama ini kalau gue cerita sama circle gue yang umurnya tidak jauh berbeda biasanya mereka menyetujui pendapat gue (mungkin karena ego mereka juga lagi tinggi-tingginya), sementara kalau cerita dengan teman yang gap umurnya jauh biasanya sudah berkeluarga sehingga kesan menghakimi kerap tampak walaupun tidak obvious.


Tiap gue mencoba menyimpulkan "Gue sombong ga sih dengan opini ini? Jumawa deh gue kayaknya, ya ga sih?" dia cuma menggeleng pelan.


"Nggak tau, gue nggak bisa ngejudge lo tapi yang gue tau keadaan pasti mendukung opini lo. Have a convo with humble leads will help you to have the ability to take ownership of controlling your own ego."



Ditengah-tengah percakapan, gue suka ketawa sendiri dengerin omongannya. Gue merasa "Kayaknya semua orang yang diumur gue ini harus deh ngobrol sama orang-orang kaya Devan ini supaya ga sombong tapi nggak perlu takut merasa dihakimi." Rasanya kaya diomelin sama kakak sendiri yang udah tau berlayar kemana-mana dan tau banget medan perang dan kesalahan yang kita buat.


Obrolan itu diakhiri dengan beberapa option yang diberikan olehnya tapi lagi-lagi dia menolak untuk memberi tahu mana pilihan mana yang terbaik. "Mulai usia-usia ini emang lo harus milih sendiri mau pilihan yang mana, orang-orang kaya gue cuma bisa ngasih insight dan box option aja."


Sampai rumah omongannya masih terus terekam di dalam otak gue. Gue jadi menyadari quarter life crisis yang kebetulan terjadi pada gue ini sebenernya nggak lebih daripada gue yang membiarkan ego lebih punya banyak kontrol daripada pikiran gue sendiri.


Rasanya kayak neyesek dan nyesel bangettt bahwa gue melewatkan kesadaran ini. Padahal gue selalu berupaya untuk tidak pernah mau terlihat superior di antara orang lain tapi ternyata setelah dibedah-bedah, gue masih menyimpan satu kesombongan ini yang jadi burden untuk gue sendiri.


Gue jadi inget lagi juga omongan Fawwaz soal resiko pilihan untuk sabbatical leave, atau kata sepupu gue Echa yang mengakui bahwa 26 lagi ngerasa kaya-kayanya karena tabungan banyak. Keduanya mengingatkan gue bahwa concern-concern gue bisa jadi hanya refleksi dari sikap gue yang cepet puas. Padahal hidup ga semudah itu kan?



It's a crazy sunday indeed. I feel rebirth, kayak burden yang selama ini gue khawatirkan mulai meluntur pelan-pelan.


Ternyata life crisis orang beda-beda dan nggak bisa disamaratakan. Ada yang merasa insecure, ada yang merasa terlalu tinggi. Jika lo juga lagi dalam fase yang sama, mempertanyakan dan ketakutan akan hal yang akan terjadi di depan karena lo merasa everything seems on track but maybe some parts of your life don't, mungkin ini saatnya lo menimbang lagi ego lo kira-kira apa yang sedang lo hindari atau yang membuat lo merasa tinggi.


Can you imagine a random person from your linkedin message box could give such a slap hard in your face through their calm words to keep you awake that world doesn't revolve around you? You can't? Well try check your dm. Maybe it's the best thing you've ever get.


Hope you have a great weekend!


Love, me!

xoxo


bottom of page